468x60 Ads

Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image >

Ryan

0 comments



            Hai semuanya, namaku Elisa biasanya sih aku dipanggil Lisa. Banyak yang bilang kalo masa remaja itu  masa dimana cinta, pertemanan dan lainnya penting, tapi entah kenapa menurutku itu semua hanyalah omong kosong. Aku tidak pernah mengerti namanya cinta, yang ku mengerti dari cinta hanyalah laki-laki dan perempuan yang memiliki perasaan yang sama, begitu pun pertemanan. Aku tidak mengerti terhadap apa yang semua orang bicarakan, menurutku masa remaja sama saja seperti masa-masa lainnya. Tapi, pandanganku terhadap cinta ternyata selama ini salah.
            Semua berawal dari sekolahku, aku tidak bisa sebutkan namanya karena menurutku itu terlalu privasi. Seperti yang aku bicarakan tadi bahwa keseharianku di SMA tidak ada yang spesial, aku berteman dengan siapa saja, laki-laki maupun perempuan. Banyak yang bilang bahwa aku ini cantik, bodygoals, dan lainnya, padahal menurutku aku ini seperti kebanyakan wanita bahkan bisa dibilang aku ini kutu buku karena kebiasaan ku ketika jam istirahat membaca buku di taman sekolah atau di perpustakaan, mungkin yang berbeda dari ku adalah tampang yang mirip orang Eropa sana, padahal orang tua ku sama sekali tidak ada keturunan Eropa. Mungkin karena itu juga banyak sekali yang ingin berpacaran denganku, tapi aku menolaknya bukan karena mereka jelek, tetapi aku hanya berfikir bahwa semua laki-laki itu membosankan, semuanya hanya jago gombal padahal kenyataannya... Hmmm sudahlah. Dan ada satu laki-laki yang benar benar ingin mengejarku, namanya Erik. Memang sih wajahnya ganteng, hidung mancung, tapi tetap saja aku tidak suka.
*bel sekolah berbunyi*
“Lisa, pulang bareng yuk!” teriak seorang yang aku familiar dengan suaranya.
“Eh... Mmm... Ngga deh, Rik. Gua pulang sendiri aja, lagipula deket sama rumah gua” kataku membalas Erik.
“Ayolah, gua sendirian loh” kata Erik merayu.
Aku hanya terdiam kesal ketika Erik berbicara seperti itu, aku langsung berbalik badan dan berjalan.
“Ayolah pulang bareng aja” kata Erik sambil menarik tanganku.
“Apa sih Rik?! Gua bilang gua gamau!” kataku sambil menarik kembali tanganku.
Hari itu, aku mulai merasa bahwa semua laki-laki hanyalah gombal, tidak ada yang bikin aku tertarik untuk mendekatinya. Dan hari itu juga, aku memusuhi Erik.
            Keesokan harinya, teman sebangku ku Lia mengatakan bahwa akan ada murid baru yang akan masuk hari ini.
“Lisaaa! Tau ga?” seru Lia.
“Apaan? Udah gausah lebay gitu deh” kataku sambil membuka buku novel.
“Ish galak banget sih. Ini lohh bakalan ada murid baru ke kelas ini” kata Lia.
“Ya terus kenapa? Baguslah” kataku sambil membaca buku novel.
“Iyaaa bagus banget, cowo pula. Duhhh ganteng ga ya hahaha” kata Lia senang.
“Ya namanya juga cowo pasti ganteng lah” kataku.
*pintu terbuka*
“Pagi anak-anak, kita hari ini kedatangan teman baru namanya Ryan. Ryan ayo perkenalkan diri kamu” kata Bu Ida wali kelas ku.
“Kenalin, nama saya Ryan Juliansyah. Kalian bisa panggil saya Ryan.” Kata Ryan sambil tersenyum
“Astaga Lisa, ganteng banget gakuat” kata Lia.
“Baiklah Ryan, silahkan duduk di tempat yang kosong.”  kata Bu Ida.
“Bu, di belakang kita kosong nih.” teriak Lia.
“Lia, ih kenapa sih lu teh?” kataku kesal.
“Ish, namanya juga usaha.” kata Lia.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala ku karena perbuatan Lia.
“Oh iya, yasudah Ryan silahkan duduk di belakang Lia dan Lisa ya.” kata Bu Ida
“Baik Bu, terimakasih ya Bu.” kata Ryan
Ryan pun pergi ke bangku yang ada di belakangku dan Lia.
“Hai Ryan, kenalin nama aku Lia” sapa Lia sambil membalikan badan ke belakang
*Ryan tersenyum*
“Gajadi suka” kata Lia dengan muka bete.
*Aku tertawa kecil*
            Bel istirahat berbunyi, semua anak kelas keluar kelas seperti biasanya.
“Lis, kantin yuk! Laper nih” kata Lia.
“Ngga ah, males” kataku.
“Ish. Ryan ke kantin yuk! Temenin aku” kata Lia.
“Duluan aja” kata Ryan sambil mengeluarkan buku.
Aku yang melihat Ryan mengambil buku, heran karena jarang sekali aku melihat laki-laki yang saat bel istirahat tidak keluar kelas. Tapi, aku tidak memperdulikannya, aku langsung menuju ke taman sekolah sambil membawa novel yang tadi pagi ku baca.
“Maaf, saya boleh ikut duduk disini?” kata seseorang
“Eh Ryan, iya silahkan” kataku heran
Aku semakin heran dengan Ryan karena jarang sekali aku melihat seorang laki-laki yang suka membaca buku di zaman sekarang.
“Lu lagi baca buku apa?” tanyaku.
“Oh, saya lagi baca novel Harry Potter” kata dia.
“Ohhhh, udah sampe yang mana?” tanyaku.
“Ini lagi baca yang seri ke 6” kata dia.
“Ohhh gituuu” kataku.
Entah ada angin apa yang menerpaku, tapi aku merasa ingin sekali ditanya balik olehnya perihal buku yang sedang ku baca.
*bel masuk berbunyi*
Ryan tiba-tiba berdiri dan langsung pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa, aku langsung merasa kesal karena dia pergi begitu saja tanpa mengajakku. Bel pulang sekolah pun berbunyi, seperti biasa aku berjalan kaki menuju ke rumah, aku kaget ditengah perjalanan aku bertemu dengan Ryan yang juga sedang berjalan ke arah yang sama.
“Eh Ryan, pulang lewat sini juga?” tanyaku.
“Iya” jawab Ryan singkat.
“Emang rumah lu dimana?” tanyaku lagi.
“Disitu, deket ko. Dah ya duluan” jawab Ryan.
Kesal dan penasaran menyelimuti ku, tidak biasanya aku bertemu dengan seorang laki-laki yang seperti dia, dan entah mengapa aku jadi merasa aku harus menggali lebih dalam tentangnya.
            Keesokan harinya, saat bel istirahat berbunyi aku kembali ke taman sekolah untuk membaca buku, sesampainya disana Ryan sudah duduk di bangku yang biasa aku tempati.
“Eh Ryan, boleh ikut duduk?” tanyaku.
“Iya silahkan” jawab Ryan sambil menggeser tubuhnya.
“Masih baca buku Harry Potter? Hahaha” tanyaku.
“Iya, kenapa emang?” Ryan bertanya balik.
“Gapapa, lucu aja zaman sekarang masih belum baca buku Harry Potter” jawabku sambil tertawa kecil
“Hmmmm... Kamu sendiri baca buku apa?” tanya Ryan
“Ini? Novel. Judulnya Lost Stars” jawabku
*Ryan tertawa kecil*
“Dih? Kenapa? Ada yang salah?” tanyaku
“Gaada” jawab Ryan
“Kenapa? Gasuka romance ya? Hahaha” tanyaku
“Suka, tapi lebih suka novel fantasi” jawab Ryan
“Ohhhh, terus lu kenapa bisa suka sama buku?” tanyaku lagi
“Menurut saya, buku itu misterius karena setiap paragraf, setiap kalimat, bahkan setiap kata mengandung arti yang berbeda untuk semua orang, jadi kita diajarkan untuk lebih merasakan apa yang penulis rasakan” jelas Ryan
Aku hanya bisa memandangi sekaligus kagum saat melihat Ryan berbicara seperti itu, laki-laki ini sangat sulit ditebak. Sepulang sekolah, aku dan Ryan pulang bareng lagi, aku dikagetkan dengan Ryan yang tiba-tiba berbicara telebih dahulu.
“Lis?” tanya Ryan
“Eh, ada apa?” tanyaku
“Punya novel Harry Potter yang ke 7?” tanya Ryan
“Hmm... Kirain apaan, ada dirumah. Kenapa?” kataku
“Pinjem dong, seru kayanya” kata Ryan.
“Ambil lah, dirumah!” kataku
“Hmmm... Yaudah deh gausah. Makasih ya” kata Ryan sambil tersenyum
“Eh eh eh, becanda. Yaudah besok gua bawa deh, tapi inget jangan rusak jangan ilang, awas aja loh” kataku mengancam Ryan.
“Iyaaa. Yaudah duluan ya” kata Ryan sambil berjalan menuju ke arah rumahnya.
Entah kenapa, hari itu aku merasa senang sekaligus semakin ingin tau siapa Ryan sebenarnya, seperti apa orangnya, dan bagaimana hatinya. Aku tidak mengerti apa yang aku rasakan sebenarnya, tapi aku merasakan hal yang berbeda kali ini.
            Bel istirahat berbunyi pada hari itu, hari dimana aku harus memberikan buku novel Harry Potter ini kepada Ryan. Aku menghampiri Ryan yang sedang membaca buku di bangku taman sekolah.
“Nih, bukunya” kataku sambil memberikan buku itu.
“Iya, iya taro aja disitu” kata Ryan sambil menunjuk tempat kosong disebelahnya.
Setelah dia berkata seperti itu, aku langsung merasa kesal, yang tadinya aku ingin membaca buku, seketika mood ku berubah. Aku langsung pergi ke kelas dengan keadaan kesal. Aku tidak mengerti, mengapa aku bisa kesal hanya karena hal sepele seperti itu. Bel pulang sekolah berbunyi, aku langsung bergegas menuju ke rumah, di perjalanan lagi-lagi aku bertemu Ryan, namun aku malas untuk menyapa nya aku langsung mendahuluinya.
“Eh Lis, makasih ya bukunya.” Ryan tiba-tiba berteriak.
Aku kaget setelah mendengar dia mengatakan hal itu, seakan dia mengerti apa yang aku inginkan. Dan kalian tahu? Setelah mendengar itu kesal ku berubah menjadi ceria. Aku tidak mengerti lagi dengan laki-laki ini. Namun, perjalanan aku dan Ryan terhenti.
“Lis, nih bunga buat lu” kata Erik sambil menghadapkan bunga ke arah ku.
“Apaan sih Rik?” tanyaku.
“Udah terima aja” kata Erik.
Aku pun mengambil bunga dan Erik langsung pergi begitu saja tanpa memberitahu maksudnya memberikan bunga padaku. Tapi, perhatian ku beralih kepada Ryan yang tiba-tiba berjalan seorang diri tanpa mengajakku dan ketika dia ingin berjalan menuju rumahnya, dia tidak mengatakan apapun kepadaku. Aku baru melihat Ryan yang seperti itu, seperti cemburu tapi aku tidak ingin ber ekspektasi seperti itu. Dan setelah kejadian itu, sikap Ryan kepadaku langsung berubah, semua berubah dan aku hanya bisa menyesali mengapa aku harus menerima bunga dari Erik dan tidak seperti biasanya, kali ini aku menangis karena perasaanku terhadap seorang laki-laki.
            Beberapa hari semenjak kejadian itu, aku memutuskan untuk meminta maaf dan menjelaskan semuanya kepada Ryan. Aku menghampiri Ryan yang sedang berjalan menuju rumahnya.
“Ryan, maaf ya kalo kemaren gua bikin lu marah karena nerima bunga Erik. Gua sama Erik gaada hubungan apa-apa kok” kataku
“Lah? Ngapain minta maaf?” kata Ryan heran
“Ya kan kemaren lu langsung pergi gitu aja, terus akhir akhir ini juga sikap lu beda tuh ke gua” kataku
“Ya kan kemaren saya kira kamu mau pergi sama cowo kamu makanya saya tinggal duluan” kaya Ryan.
“Terus kenapa berubah sikapnya ke gua?” tanyaku
“Ya saya takut nanti pacar kamu marah lah hahaha” jawab Ryan dengan tawa
“Udahlah gausah bahas dia, bete” kataku memasang muka bete.
Saat aku dan Ryan akan berpisah, Ryan iba-tiba menghentikan langkahnya.
“Lis, besok kamu sibuk ga?” tanya Ryan
“Hmmm kenapa emang?” tanyaku
“Mau ga anter saya, beli sesuatu?” tanya Ryan
“Ayo” jawabku
Tanpa pikir panjang aku langsung meng-iya kan ajakan Ryan, hari itu aku merasa sangat senang, aku tidak memikirkan yang lain selain Ryan. Keesokan harinya sepulang sekolah, aku dan Ryan langsung menuju ke pusat perbelanjaan yang tidak terlalu jauh dengan sekolah kami. Aku berpikir, kalo jalan berduaan aja udah seneng apalagi dibeliin kado sama Ryan. Tapi, aku gamau kepedean karna belum tentu kadonya itu buat aku.
“Lis, menurut kamu kado yang cocok buat cewe apa ya?” tanya Ryan
“Banyak lah, bisa boneka, cokelat, baju, atau buku mungkin” jawabku
“Ah iya bener, buku. Saya yakin dia pasti suka banget buku” kata Ryan
Pernyataan yang membuatku semakin senang. Akhirnya kami pergi ke toko buku.
“Lis, pilihin bukunya dong. Pokoknya bukunya khusus buat cewe yang selama ini ada buat saya, dan dekat dengan saya” kata Ryan
“Oke siap” kataku semangat
Entah apa yang membuatku semakin yakin kalau orang yang dimaksudkan Ryan adalah diriku. Aku bertanya kepada Ryan sebenarnya untuk siapa hadiah ini.
“Ryan, emang bukunya buat siapa sih?” tanyaku.
“Ada deh, pokoknya akhir akhir ini saya sempat lost contact sama dia” jawab Ryan
Jawaban Ryan membuat aku semakin penasaran sekaligus senang, karena aku dari kemarin memang sempat lost contact dengannya. Akhirnya aku memilih buku yang memang aku inginkan dan aku suka.
“Nih bukunya ketemu” kataku sambil memberikan buku itu kepada Ryan.
“Serius nih? Oke deh” kata Ryan
Akhirnya Ryan membeli buku itu, dan diperjalanan pulang aku bertanya lagi kepada Ryan.
“Ryan, emang sebenernya buku ini buat siapa sih? Kayanya spesial banget buat lu” tanyaku
“Sangat, sangat spesial” jawab Ryan
“Siapa? Kasih tau dong” tanyaku penasaran sekaligus senang
“Buku ini, buat pacar saya, dia sekarang lagi di Bali sekolah di sana. Kemarin saya sempat lost contact sama dia, dan dia mirip banget sama kamu. Makanya aku minta bantuan kamu buat pilihin kado karena lusa dia ulang tahun” jelas Ryan
Pernyataan yang seketika membuatku sedih, sangat sedih. Aku hanya bisa berpura-pura senang padahal aku terpuruk, pura-pura tegak padahal jatuh, pura-pura tegar padahal rapuh.
“Ohhhgituuu, selamat ya” kataku sambil tersenyum.
“Iya makasih ya Lis” kata Ryan
Setelah kejadian itu, pandanganku terhadap cinta mulai berubah. Ternyata cinta tidak semudah cowo dan cewe yang memiliki perasaan yang sama, terkadang cinta hanya tumbuh pada satu insan sedangkan yang lain tidak. Semenjak itu juga, aku sadar bahwa laki-laki yang misterius pun masih menyimpan sejuta misteri di dalam dirinya. Menurutku, Ryan seperti buku, dia misterius, setiap perbuatan, setiap kalimat, bahkan setiap kata yang dia ucapkan harus kita cermati lebih dalam agar tahu arti dan jalan ceritanya, sayangnya ending dari buku ini tidaklah bahagia untukku. Tapi karena Ryan juga, aku jadi lebih mengenal rasanya bahagia karena seorang laki-laki, lebih mengenal rasanya sedih karena seorang laki-laki.
Ryan adalah buku kecil ku, sepenggal cerita yang membuatku bahagia dan sedih di waktu yang bersamaan.