Hai
semuanya, namaku Elisa biasanya sih aku dipanggil Lisa. Banyak yang bilang kalo
masa remaja itu masa dimana cinta,
pertemanan dan lainnya penting, tapi entah kenapa menurutku itu semua hanyalah
omong kosong. Aku tidak pernah mengerti namanya cinta, yang ku mengerti dari
cinta hanyalah laki-laki dan perempuan yang memiliki perasaan yang sama, begitu
pun pertemanan. Aku tidak mengerti terhadap apa yang semua orang bicarakan,
menurutku masa remaja sama saja seperti masa-masa lainnya. Tapi, pandanganku
terhadap cinta ternyata selama ini salah.
Semua
berawal dari sekolahku, aku tidak bisa sebutkan namanya karena menurutku itu
terlalu privasi. Seperti yang aku bicarakan tadi bahwa keseharianku di SMA
tidak ada yang spesial, aku berteman dengan siapa saja, laki-laki maupun
perempuan. Banyak yang bilang bahwa aku ini cantik, bodygoals, dan lainnya, padahal menurutku aku ini seperti
kebanyakan wanita bahkan bisa dibilang aku ini kutu buku karena kebiasaan ku ketika
jam istirahat membaca buku di taman sekolah atau di perpustakaan, mungkin yang
berbeda dari ku adalah tampang yang mirip orang Eropa sana, padahal orang tua
ku sama sekali tidak ada keturunan Eropa. Mungkin karena itu juga banyak sekali
yang ingin berpacaran denganku, tapi aku menolaknya bukan karena mereka jelek,
tetapi aku hanya berfikir bahwa semua laki-laki itu membosankan, semuanya hanya
jago gombal padahal kenyataannya... Hmmm sudahlah. Dan ada satu laki-laki yang
benar benar ingin mengejarku, namanya Erik. Memang sih wajahnya ganteng, hidung
mancung, tapi tetap saja aku tidak suka.
*bel
sekolah berbunyi*
“Lisa, pulang bareng yuk!” teriak seorang yang aku familiar
dengan suaranya.
“Eh... Mmm... Ngga deh, Rik. Gua pulang sendiri aja,
lagipula deket sama rumah gua” kataku membalas Erik.
“Ayolah, gua sendirian loh” kata Erik merayu.
Aku hanya terdiam kesal ketika Erik berbicara seperti
itu, aku langsung berbalik badan dan berjalan.
“Ayolah pulang bareng aja” kata Erik sambil menarik
tanganku.
“Apa sih Rik?! Gua bilang gua gamau!” kataku sambil
menarik kembali tanganku.
Hari itu, aku mulai merasa bahwa semua laki-laki
hanyalah gombal, tidak ada yang bikin aku tertarik untuk mendekatinya. Dan hari
itu juga, aku memusuhi Erik.
Keesokan
harinya, teman sebangku ku Lia mengatakan bahwa akan ada murid baru yang akan
masuk hari ini.
“Lisaaa! Tau ga?” seru Lia.
“Apaan? Udah gausah lebay gitu deh” kataku sambil membuka
buku novel.
“Ish galak banget sih. Ini lohh bakalan ada murid baru
ke kelas ini” kata Lia.
“Ya terus kenapa? Baguslah” kataku sambil membaca buku
novel.
“Iyaaa bagus banget, cowo pula. Duhhh ganteng ga ya
hahaha” kata Lia senang.
“Ya namanya juga cowo pasti ganteng lah” kataku.
*pintu
terbuka*
“Pagi anak-anak, kita hari ini kedatangan teman baru
namanya Ryan. Ryan ayo perkenalkan diri kamu” kata Bu Ida wali kelas ku.
“Kenalin, nama saya Ryan Juliansyah. Kalian bisa
panggil saya Ryan.” Kata Ryan sambil tersenyum
“Astaga Lisa, ganteng banget gakuat” kata Lia.
“Baiklah Ryan, silahkan duduk di tempat yang kosong.” kata Bu Ida.
“Bu, di belakang kita kosong nih.” teriak Lia.
“Lia, ih kenapa sih lu teh?” kataku kesal.
“Ish, namanya juga usaha.” kata Lia.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala ku karena perbuatan
Lia.
“Oh iya, yasudah Ryan silahkan duduk di belakang Lia
dan Lisa ya.” kata Bu Ida
“Baik Bu, terimakasih ya Bu.” kata Ryan
Ryan pun pergi ke bangku yang ada di belakangku dan
Lia.
“Hai Ryan, kenalin nama aku Lia” sapa Lia sambil
membalikan badan ke belakang
*Ryan tersenyum*
“Gajadi suka” kata Lia dengan muka bete.
*Aku tertawa kecil*
Bel
istirahat berbunyi, semua anak kelas keluar kelas seperti biasanya.
“Lis, kantin yuk! Laper nih” kata Lia.
“Ngga ah, males” kataku.
“Ish. Ryan ke kantin yuk! Temenin aku” kata Lia.
“Duluan aja” kata Ryan sambil mengeluarkan buku.
Aku yang melihat Ryan mengambil buku, heran karena jarang
sekali aku melihat laki-laki yang saat bel istirahat tidak keluar kelas. Tapi,
aku tidak memperdulikannya, aku langsung menuju ke taman sekolah sambil membawa
novel yang tadi pagi ku baca.
“Maaf, saya boleh ikut duduk disini?” kata seseorang
“Eh Ryan, iya silahkan” kataku heran
Aku semakin heran dengan Ryan karena jarang sekali aku
melihat seorang laki-laki yang suka membaca buku di zaman sekarang.
“Lu lagi baca buku apa?” tanyaku.
“Oh, saya lagi baca novel Harry Potter” kata dia.
“Ohhhh, udah sampe yang mana?” tanyaku.
“Ini lagi baca yang seri ke 6” kata dia.
“Ohhh gituuu” kataku.
Entah ada angin apa yang menerpaku, tapi aku merasa ingin
sekali ditanya balik olehnya perihal buku yang sedang ku baca.
*bel
masuk berbunyi*
Ryan tiba-tiba berdiri dan langsung pergi begitu saja
tanpa berkata apa-apa, aku langsung merasa kesal karena dia pergi begitu saja
tanpa mengajakku. Bel pulang sekolah pun berbunyi, seperti biasa aku berjalan
kaki menuju ke rumah, aku kaget ditengah perjalanan aku bertemu dengan Ryan
yang juga sedang berjalan ke arah yang sama.
“Eh Ryan, pulang lewat sini juga?” tanyaku.
“Iya” jawab Ryan singkat.
“Emang rumah lu dimana?” tanyaku lagi.
“Disitu, deket ko. Dah ya duluan” jawab Ryan.
Kesal dan penasaran menyelimuti ku, tidak biasanya aku
bertemu dengan seorang laki-laki yang seperti dia, dan entah mengapa aku jadi
merasa aku harus menggali lebih dalam tentangnya.
Keesokan
harinya, saat bel istirahat berbunyi aku kembali ke taman sekolah untuk membaca
buku, sesampainya disana Ryan sudah duduk di bangku yang biasa aku tempati.
“Eh Ryan, boleh ikut duduk?” tanyaku.
“Iya silahkan” jawab Ryan sambil menggeser tubuhnya.
“Masih baca buku Harry Potter? Hahaha” tanyaku.
“Iya, kenapa emang?” Ryan bertanya balik.
“Gapapa, lucu aja zaman sekarang masih belum baca buku
Harry Potter” jawabku sambil tertawa kecil
“Hmmmm... Kamu sendiri baca buku apa?” tanya Ryan
“Ini? Novel. Judulnya Lost Stars” jawabku
*Ryan tertawa kecil*
“Dih? Kenapa? Ada yang salah?” tanyaku
“Gaada” jawab Ryan
“Kenapa? Gasuka romance ya? Hahaha” tanyaku
“Suka, tapi lebih suka novel fantasi” jawab Ryan
“Ohhhh, terus lu kenapa bisa suka sama buku?” tanyaku
lagi
“Menurut saya, buku itu misterius karena setiap paragraf,
setiap kalimat, bahkan setiap kata mengandung arti yang berbeda untuk semua
orang, jadi kita diajarkan untuk lebih merasakan apa yang penulis rasakan” jelas
Ryan
Aku hanya bisa memandangi sekaligus kagum saat melihat
Ryan berbicara seperti itu, laki-laki ini sangat sulit ditebak. Sepulang
sekolah, aku dan Ryan pulang bareng lagi, aku dikagetkan dengan Ryan yang tiba-tiba
berbicara telebih dahulu.
“Lis?” tanya Ryan
“Eh, ada apa?” tanyaku
“Punya novel Harry Potter yang ke 7?” tanya Ryan
“Hmm... Kirain apaan, ada dirumah. Kenapa?” kataku
“Pinjem dong, seru kayanya” kata Ryan.
“Ambil lah, dirumah!” kataku
“Hmmm... Yaudah deh gausah. Makasih ya” kata Ryan
sambil tersenyum
“Eh eh eh, becanda. Yaudah besok gua bawa deh, tapi
inget jangan rusak jangan ilang, awas aja loh” kataku mengancam Ryan.
“Iyaaa. Yaudah duluan ya” kata Ryan sambil berjalan
menuju ke arah rumahnya.
Entah kenapa, hari itu aku merasa senang sekaligus
semakin ingin tau siapa Ryan sebenarnya, seperti apa orangnya, dan bagaimana
hatinya. Aku tidak mengerti apa yang aku rasakan sebenarnya, tapi aku merasakan
hal yang berbeda kali ini.
Bel
istirahat berbunyi pada hari itu, hari dimana aku harus memberikan buku novel
Harry Potter ini kepada Ryan. Aku menghampiri Ryan yang sedang membaca buku di
bangku taman sekolah.
“Nih, bukunya” kataku sambil memberikan buku itu.
“Iya, iya taro aja disitu” kata Ryan sambil menunjuk tempat
kosong disebelahnya.
Setelah dia berkata seperti itu, aku langsung merasa
kesal, yang tadinya aku ingin membaca buku, seketika mood ku berubah. Aku langsung
pergi ke kelas dengan keadaan kesal. Aku tidak mengerti, mengapa aku bisa kesal
hanya karena hal sepele seperti itu. Bel pulang sekolah berbunyi, aku langsung
bergegas menuju ke rumah, di perjalanan lagi-lagi aku bertemu Ryan, namun aku
malas untuk menyapa nya aku langsung mendahuluinya.
“Eh Lis, makasih ya bukunya.” Ryan tiba-tiba berteriak.
Aku kaget setelah mendengar dia mengatakan hal itu,
seakan dia mengerti apa yang aku inginkan. Dan kalian tahu? Setelah mendengar
itu kesal ku berubah menjadi ceria. Aku tidak mengerti lagi dengan laki-laki
ini. Namun, perjalanan aku dan Ryan terhenti.
“Lis, nih bunga buat lu” kata Erik sambil menghadapkan
bunga ke arah ku.
“Apaan sih Rik?” tanyaku.
“Udah terima aja” kata Erik.
Aku pun mengambil bunga dan Erik langsung pergi begitu
saja tanpa memberitahu maksudnya memberikan bunga padaku. Tapi, perhatian ku
beralih kepada Ryan yang tiba-tiba berjalan seorang diri tanpa mengajakku dan
ketika dia ingin berjalan menuju rumahnya, dia tidak mengatakan apapun
kepadaku. Aku baru melihat Ryan yang seperti itu, seperti cemburu tapi aku
tidak ingin ber ekspektasi seperti itu. Dan setelah kejadian itu, sikap Ryan
kepadaku langsung berubah, semua berubah dan aku hanya bisa menyesali mengapa
aku harus menerima bunga dari Erik dan tidak seperti biasanya, kali ini aku
menangis karena perasaanku terhadap seorang laki-laki.
Beberapa
hari semenjak kejadian itu, aku memutuskan untuk meminta maaf dan menjelaskan
semuanya kepada Ryan. Aku menghampiri Ryan yang sedang berjalan menuju
rumahnya.
“Ryan, maaf ya kalo kemaren gua bikin lu marah karena
nerima bunga Erik. Gua sama Erik gaada hubungan apa-apa kok” kataku
“Lah? Ngapain minta maaf?” kata Ryan heran
“Ya kan kemaren lu langsung pergi gitu aja, terus
akhir akhir ini juga sikap lu beda tuh ke gua” kataku
“Ya kan kemaren saya kira kamu mau pergi sama cowo
kamu makanya saya tinggal duluan” kaya Ryan.
“Terus kenapa berubah sikapnya ke gua?” tanyaku
“Ya saya takut nanti pacar kamu marah lah hahaha” jawab
Ryan dengan tawa
“Udahlah gausah bahas dia, bete” kataku memasang muka
bete.
Saat aku dan Ryan akan berpisah, Ryan iba-tiba
menghentikan langkahnya.
“Lis, besok kamu sibuk ga?” tanya Ryan
“Hmmm kenapa emang?” tanyaku
“Mau ga anter saya, beli sesuatu?” tanya Ryan
“Ayo” jawabku
Tanpa pikir panjang aku langsung meng-iya kan ajakan
Ryan, hari itu aku merasa sangat senang, aku tidak memikirkan yang lain selain
Ryan. Keesokan harinya sepulang sekolah, aku dan Ryan langsung menuju ke pusat
perbelanjaan yang tidak terlalu jauh dengan sekolah kami. Aku berpikir, kalo
jalan berduaan aja udah seneng apalagi dibeliin kado sama Ryan. Tapi, aku gamau
kepedean karna belum tentu kadonya itu buat aku.
“Lis, menurut kamu kado yang cocok buat cewe apa ya?”
tanya Ryan
“Banyak lah, bisa boneka, cokelat, baju, atau buku mungkin”
jawabku
“Ah iya bener, buku. Saya yakin dia pasti suka banget
buku” kata Ryan
Pernyataan yang membuatku semakin senang. Akhirnya
kami pergi ke toko buku.
“Lis, pilihin bukunya dong. Pokoknya bukunya khusus
buat cewe yang selama ini ada buat saya, dan dekat dengan saya” kata Ryan
“Oke siap” kataku semangat
Entah apa yang membuatku semakin yakin kalau orang
yang dimaksudkan Ryan adalah diriku. Aku bertanya kepada Ryan sebenarnya untuk
siapa hadiah ini.
“Ryan, emang bukunya buat siapa sih?” tanyaku.
“Ada deh, pokoknya akhir akhir ini saya sempat lost contact sama dia” jawab Ryan
Jawaban Ryan membuat aku semakin penasaran sekaligus
senang, karena aku dari kemarin memang sempat lost contact dengannya. Akhirnya aku memilih buku yang memang aku inginkan
dan aku suka.
“Nih bukunya ketemu” kataku sambil memberikan buku itu
kepada Ryan.
“Serius nih? Oke deh” kata Ryan
Akhirnya Ryan membeli buku itu, dan diperjalanan pulang
aku bertanya lagi kepada Ryan.
“Ryan, emang sebenernya buku ini buat siapa sih?
Kayanya spesial banget buat lu” tanyaku
“Sangat, sangat spesial” jawab Ryan
“Siapa? Kasih tau dong” tanyaku penasaran sekaligus
senang
“Buku ini, buat pacar saya, dia sekarang lagi di Bali
sekolah di sana. Kemarin saya sempat lost
contact sama dia, dan dia mirip banget sama kamu. Makanya aku minta bantuan
kamu buat pilihin kado karena lusa dia ulang tahun” jelas Ryan
Pernyataan yang seketika membuatku sedih, sangat
sedih. Aku hanya bisa berpura-pura senang padahal aku terpuruk, pura-pura tegak
padahal jatuh, pura-pura tegar padahal rapuh.
“Ohhhgituuu, selamat ya” kataku sambil tersenyum.
“Iya makasih ya Lis” kata Ryan
Setelah kejadian itu, pandanganku terhadap cinta mulai
berubah. Ternyata cinta tidak semudah cowo dan cewe yang memiliki perasaan yang
sama, terkadang cinta hanya tumbuh pada satu insan sedangkan yang lain tidak. Semenjak
itu juga, aku sadar bahwa laki-laki yang misterius pun masih menyimpan sejuta
misteri di dalam dirinya. Menurutku, Ryan seperti buku, dia misterius, setiap perbuatan,
setiap kalimat, bahkan setiap kata yang dia ucapkan harus kita cermati lebih
dalam agar tahu arti dan jalan ceritanya, sayangnya ending dari buku ini
tidaklah bahagia untukku. Tapi karena Ryan juga, aku jadi lebih mengenal
rasanya bahagia karena seorang laki-laki, lebih mengenal rasanya sedih karena
seorang laki-laki.
Ryan adalah buku kecil ku, sepenggal cerita yang membuatku
bahagia dan sedih di waktu yang bersamaan.